Selasa, 11 Maret 2014

AI-Quran, Sandaran Kenabian

AI-Quran, Sandaran Kenabian

Al-Quran menegaskan di beberapa tempat bahwa ia adalah fiirman Allah Yang Mahaagung, yang diwahyukan-Nya kepada Nabi dalam bentuk kata-kata yang kita baca dari Al-Quran. Untuk membuktikan bahwa ia adalah firman Allah, bukan hasil ciptaan manusia, dalam beberapa ayat, AI-Quran menantang semua manusia untuk mendatangkan apa pun yang menyamai Al-Quran walaupun satu ayat. Ini menunjukkan bahwa Al-Quran itu berkekuatan mukjizati, yang tak seorangpun sanggup mendatangkan yang semisalnya. Allah berfirman:

QS 52:33 ebook pakdenono
 
"Atau mereka mengatakan: 'Muhammad membuat-buatnya.' Sesungguhnya mereka tidak beriman." (QS 52:33)

QS 17:88 ebook pakdenono

"Katakanlah: 'Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang menyamai Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuatnya walaupun mereha saling membantu'." (QS 17:88)

QS 11:13 ebook pakdenono

"Bahkan mereka mengatakan: 'Muhammad telah membuat­buatnya.' Katakanlah: 'Datangkanlah sepuluh surat yang menyamainya'." (QS 11:13)

QS 10:38 ebook pakdenono

"Atau mereka mengatakan bahwa Muhammad telah membuat-buatnya? Katakanlah: 'Datangkanlah sebuah surat yang menyamai Al-Quran. “ (QS 10:38)

QS 2:23 ebook pakdenono

"Apabila kamu meragukan apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami, maka datangkanlah sebuah surat yang me­nyamainya." (QS 2:23)

Untuk menantang mereka tentang tiadanya pertentangan dalam Al-Quran, Allah berfirman:

QS 4:82 ebook pakdenono

"Tidakkah mereka itu memikirkan Al-Quran? Seandainya Al­Quran itu tidak dari Allah, maka mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya. " (QS 4:82)

Dengan tantangan-tantangannya ini Al-Quran menegaskan bahwa ia merupakan firman Allah, dan menjelaskan dalam banyak ayatnya bahwa Muhammad adalah seorang Rasul dan Nabi yang diutus Allah. Dengan demikian, Al-Quran merupakan sandaran bagi kenabian dan menopang pernyataan Nabi. Dari itu, Nabi diperintahkan untuk bertumpu pada kesaksian Allah tentang hal itu, yakni penegasan AI-Quran terhadap kenabiannya. Al-Quran mengatakan:

QS 13:43 ebook pakdenono

"Katakanlah: "Cukuplah Allah yang menjadi saksi antara aku dan kamu. “ (QS 13:43)

Di tempat lain Al-Quran mengungkapkan kesaksian malaikat, selain kesaksian Allah, tentang kenabiannya itu. Ia mengatakan:

QS 4:166 ebook pakdenono

"Tetapi Allah menyaksikan apa yang diturunkan-Nya kepadamu. Dia menurunkannya dengan ilmu-Nya, dan para malaikat menyaksikan. Cukuplah Allah yang menjadi saksi." (QS 4:166)

Al-Quran, Menentukan Jalan Hidup Manusia

Al-Quran, Menentukan Jalan Hidup Manusia

Setelah tiga premis di atas jelas, maka harus diketahui pula bahwa Al-Quran - di sampinq memperhatikan tiga premis tersebut, yaitu manusia mempunyai tujuan yang harus dicapainya dalam perjalanan hidupnya dengan usaha dan perbuatannya, dan dia tidak mungkin mencapai tujuan yang diidam-idamkan itu kecuali dengan mengikuti hukum-hukum dan tata cara tertentu serta keharusan mempelajari hukum-hukum dan tata cata itu dari buku fitrah dan penciptaan, yakni ajatan Allah - juga menentu­kan jalan hidup bagi manusia sebagai berikut:
AI-Quran mendasarkan jalan itu pada keimanan akan keesaan-­Nya sebagai dasar pertama agama; Al-Quran menjadikan keimanan kepada akhirat dan Hari Kiamat, yaitu hari ketika orang yang baik dibalas karena kebaikannya dan yang jahat dibalas karena kejahat­annya, sebagai dasar-kedua agama. Hal ini pada gilirannya membawa kepada keimanan kepada kenabian, karena perbuatan-­perbuatan bisa dibalas setelah si pelakunya mengetahui ketaatan dan maksiat, yang baik dan yang buruk. Pengetahuan ini tidak akan dapat diperoleh kecuali melalui wahyu dan kenabian - sebagaimana akan kami rinci nanti. Al-Quran menjadikan ke­imanan kepada kenabian ini sebagai dasar ketiga agama.
Al-Quran memandang ketiga dasar ini: keimanan kepada keesaan Allah, kenabian dan akhirat sebagai dasar-dasar agama Islam. Setelah itu, Al-Quran menjelaskan pokok-pokok akhlak yang diridhai dan sifat-sifat baik yang sesuai dengan ketiga dasar tersebut, dan setiap orang beriman harus menghiasi diri dengannya. Kemudian AI-Quran menetapkan hukum-hukum perbuatan yang menjamin kebahagiaan hakiki manusia dan menyuburkan akhlak yang utama dan faktor-faktor yang mengantarkannya kepada akidah yang benar dan prinsip-prinsip pokok.
Tidak logis bila kita beranggapan bahwa orang yang bergelimang dalam seks yang diharamkan, mencuri, berkhianat dan curang, adalah suci. Begitu pula, tidak logis bila kita beranggapan bahwa orang yang keterlaluan dalam mencintai harta, mengumpulkan dan menyimpannya, dan tidak mau memenuhi hak-hak orang lain, adalah suci. Tidak logis pula bila kita menganggap orang yang tidak menyembah Allah dan mengingat-Nya siang dan malam, sebagai beriman kepada Allah dan Hari Akhir.
Dengan demikian, akhlak yang baik maujud kuena adanya perbuatan-perbuatan baik, sebagaimana akhlak yang baik itu ada karena akidah yang benar.
Seseorang yang terbelenggu kesombongan, kebanggaan dan kecintaan kepada diri sendiri, tidak mungkin mempercayai Allah dan mengakui keagungan-Nya. Dan orang yang selama hidupnya tidak mengetahui makna keadilan, keperwiraan dan welas-asih terhadap yang lemah, tidak akan masuk ke dalam hatinya intan kepada Hari Kiamat, perhitungan dan balasan di akhirat. Tentang hubungan antara akidah yang benar dengan akhlak yang diridhai, Allah berfirntan:


"Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal yang baik dinaikkan-Nya. " (QS 85:10)

Dan tentang hubungan antara akidah dengan perbuatan, Allah berfirman:


"Kemudian akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah azab yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat­ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya." (QS 90:10)

Kesimpulan dari pembicaraan di atas adalah bahwa Al-Quran mwgandung sumber-sumber ketiga dasu Islam, yaitu:
  1. Dasar-dasar akidah. Ini terbagi menjadi tiga dasar agama: tauhid, kenabian dan akhirat, dan akidah-akidah yang merupakan cabang darinya, seperti lauh mahfudh, qalam, qadha' dan qadar, malaikat, menghadap Allah, kursi, penciptaan langit dan bumi dan lain-lain.
  2. Akhlak yang diridhai.
  3. Hukum-bukum syara' dan perbuatan yang dasar-dasarnya telah dijelaskan Al-Quran, sedangkan penjelasan terincinya diserahkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. Dan Nabi menjadikan penjelasan Ahlul Bait (keluarga)-nya sama dengan penjelasan beliau, sebagaimana diketahui dari hadits tsaqalain yang secara mutawatir diriwayatkan baik oleh kalangan Ahlus Sunnah maupun Syi'ah.1)

1). Baca 'Abaqatul Anwar, bagian "Hadits Tsaqalain". Di situ disebutkan beratus-ratus sanad yang sampai kepada hadis tersebut.

BAB I POSISI AL-QURAN Al-Quran, Undang-Undang Paling Utama Kehidupan

BAB I
POSISI AL-QURAN
Al-Quran, Undang-Undang Paling Utama Kehidupan

Agama Islam, yang mengandung jalan hidup manusia yang paling sempurna dan memuat ajaran yang menuntun umat manusia kepada kebahagiaan dan kesejahteraan, dapat diketahui dasar­dasar dan perundang-undangannya melalui Al-Quran. Al-Quran adalah sumber utama dan mata air yang memancarkan ajaran Islam. Hukum-hukum Islam yang mengandung serangkaian pengetahuan tentang akidah, pokok-pokok akhlak dan perbuatan dapat dijumpai sumbernya yang asli dalam ayat-ayat Al-Quran. Allah berfirman,

QS 17-9 - ebook pakdenono

"Sesungguhnya Al-Quran ini menunjukkan kepada jalan yang lebih lurus." (QS 17:9)

QS 16-89 - ebook pakdenono

"Kami menurunkan AI-Quran kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu." (QS 16:89)

Adalah amat jelas bahwa dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang mengandung pokok-pokok akidah keagamaan, keutamaan akhlak dan prinsip-prinsip-umum hukum perbuatan. Kami tidak perlu menyebutkan semua ayat itu dalam kesempatanyang tidak cukup luas ini. Lebih lanjut kami katakan bahwa pemikiran yang teliti tentang pokok-pokok permasalahan berikut dapat menjelaskan kepada kita universalitas kandungan Al-Quran mengenai jalan hidup yang harus ditempuh manusia.
Pertama, dalam hidupnya manusia hanya menuju kepada ke­bahagiaan, ketenangan dan pencapaian cita-citanya. Kebahagiaan dan ketenangan merupakan suatu wama khusus di antara warna­wama kehidupan yang diinginkan oleh manusia, yang di naungannya ia berharap menemukan kemerdekaan, kesejahteraan, kesen­tosaan dan lain-lain.
Jarang kita lihat orang yang, dengan perbuatan mereka sendiri, memalingkan muka dari kebahagiaan dan kesenangan - seperti melakukan bunuh diri, melukai badan dan menyakiti anggota tubuhnya dan beberapa latihan (riyadhah) berat yang tidak diajarkan agama - dengan alasan berpaling dari dunia, dan perbuatan­perbuatan lain yang menyebabkan seseorang kehilangan berbagai sarana kesejahteraan dan ketenangan hidup. Begitulah, (hanya) orang yang menderita komplikasi jiwa - sebagai akibat dari parahnya komplikasi itu - berpendapat bahwa kebahagiaan terdapat dalam perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kebahagiaan. Sebagai contoh, seseorang mengalami kesulitan hidup dan tidak kuat menanggungnya, kemudian bunuh diri karena beranggapan bahwa kesenangan itu terdapat dalam kematian. Atau, sebagian orang menjauhi dunia, menjalani bermacam latihan badan dan mengharamkan kesenangan materiil untuk dirinya sendiri, karena ia berpendapat bahwa hidup dalam kesenangan materi merupakan hidup yang kering. Dengan demikian, usaha yang dilakukan manusia hanyalah untuk menemukan kebahagiaan yang diidam-idamkan yang ia berusaha mewujudkan dan memperolehnya.
Memang, jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut berbeda-beda. Sebagian menempuh jalan yang masuk akal, yang diterima kemanusiaan dan dibolehkan oleh syariat, sedang sebagian yang lain menyalahi jalan yang benar sehingga terperosok ke dalam belantara kesesatan dan menyimpang dad jalan kebenar­an.
Kedua, perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia senan­tiasa berada dalam suatu kerangka peraturan dan hukum tertentu. Hal ini merupakan suatu kebenaran yang tak dapat diingkari, dalam segala keadaan, mengingat begitu jelas dan gamblangnya persoalan. Hal itu disebabkan karena manusia yang mempunyai akal hanya melakukan sesuatu setelah ia menghendakinya. Perbuatannya itu berdasarkan kehendak jiwa yang diketahuinya dengan jelas. Di segi yang lain, ia hanya melakukan apa pun demi dirinya sendiri. Yakni, ia merasakan adanya tuntutan-tuntutan hidup yang harus dipenuhinya, kemudian berbuat untuk meme­nuhi tuntutan-tuntutan itu untuk dirinya sendiri. Karenanya, antara semua perbuatannya itu ada suatu tali kuat yang menghubungkan sebagiannya dengan yang lain.
Sesungguhnya makan dan minum, tidur dan bangun, duduk dan berdiri, pergi dan datang - semua perbuatan ini dan perbuat­an-perbuatan lain yang dilakukan manusia - pada beberapa keadaan, merupakan keharusan baginya; dan pada beberapa keadaan yang lain, tidak merupakan keharusan - yakni, bermanfaat bagi­nya pada suatu saat, dan membahayakan pada saat yang lain. Semua yang dilakukan manusia itu bersumber dari suatu hukum yang ia ketahui universalitasnya dalam dirinya dan yang ia terapkan bagian-bagiannya pada perbuatan dan pekerjaan-pekerjaannya.
Seseorang, dalam perbuatan-perbuatan individualnya, menye­rupai suatu pemerintahan lengkap, yang memiliki hukum, kebiasa­an dan tata caranya sendiri. Kekuatan aktif dalam pemerintahan itu terlebih dahulu harus menimbang perbuatan-perbuatannya dengan hukum-hukum itu, kemudian bamlah ia berbuat. Perbuatan-perbuatan sosial yang dilakukan dalam suatu ma­syarakat menyerupai perbuatan individual, sehingga padanya ber­laku seperangkat hukum dan tata cara yang dipatuhi oleh sebagian besar individu masyarakat itu. Jika tidak, maka anarkisme akan menguasai, dan ikatan sosial mereka pun terpecah.
Memang, corak masyarakat, di bawah pengaruh hukum-hukum yang berlaku dan dominan di dalamnya, berbeda-beda. Seandainya masyarakat itu bcrcorak mazhabiah, maka di dalamnya ber­laku ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum mazhab tersebut. Dan bila tidak bercorak mazhabiah, melainkan kebudayaan, maka perbuatan-perbuatan masyarakatitu bercorak hukum kebudayaan tersebut. Adapun jika masyarakat itu liar dan tidak mempunyai kebudayaan, maka padanya berlaku tata pergaulan dan hukum­hukum individual yang sewenang-wenang, atau hukum-hukum yang dihasilkan oleh adanya perbauran berbagai kepercayaan dan tata pergaulan yang kacau.
Kalau begitu, maka manusia, dalam perbuatan-perbuatan individual dan sosialnya, harus memiliki tujuan tertentu. Untuk mencapai tujuan yang diidam-idamkan itu, ia harus melakukan perbuatan-perbuatannya menurut hukum dan tata cara tertentu yang ditetapkan oleh agama atau masyarakat, atau yang lainnya. Al-Quran sendiri menguatkan teori ini ketika ia mengatakan,

QS 2: 148 ebook pakdenono

"Tiap-tiap umat memiliki kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan." (QS 2: 148)

Kata ad-din (agama), menurut kebiasaan Al-Quran berarti 'jalan hidup.' Orang-orang yang beriman dan yang kafir - sampai­sampai yang tidak mengakui keberadaan Allah sekalipun – pasti memiliki suatu agama, karena setiap orang mengikuti hukum­hukum tertentu dalam perbuatan-perbuatannya, dan hukum­hukum itu disandarkan kepada Nabi dan wahyu, atau ditetapkan oleh seseorang atau suatu masyarakat. Tentang musuh-musuh agama Allah, Allah berfirman:

QS 7: 45 ebook pakdenono
                                                                               
"Yaitu orang-orang yang menghalangi manusia dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu menjadi bengkok. " (QS 7:45)1)

Ketiga, jalan hidup terbaik dan terkuat manusia adalah jalan hidup berdasarkan fitrah, bukan berdasarkan emosi-emosi dan dorongan-dorongan individual atau sosial.
Apabila kita mengamati secara teliti setiap bagian alam, akan kita ketahui bahwa ia memiliki tujuan tertentu, yang sejak hari pertama kejadiannya ia mengarah ke tujuan itu melalui jalan yang terdekat dan terbaik. Ia memiliki sarana yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu. Inilah keadaan semua makhluk di dalam alam ini, baik yang bernyawa maupun yang tidak.
Sebagai contoh adalah biji gandum. Sejak hari pertama diletak­kan dalam tanah, ia berjalan dalam proses penyempurnaan. Meng­hijau dan tumbuh sampai terbentuknya bulir-bulir yang lipatannya berisi banyak biji gandum. Dan ia dibekali dengan sarana-sarana khusus untuk memperoleh unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam proses penyempurnaannya itu. Kemudian ia menyerap unsur-unsur yang ada di dalam tanah, udara dan lain-lainnya dengan kadar ter­tentu: Lalu ia merekah, menghijau dan tumbuh hari demi hari, dan berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain sampai terbentuknya bulir-bulir baru, yang dalam setiap bulir terdapat banyak biji gandum. Pada saat itulah biji pertama yang disemaikan di bumi benar-benar telah mencapai tujuan yang diidam-idamkannya dan kesempurnaan yang ia tuju. Demikian pula pohon kenari. Jika kita amati secara teliti, akan kita ketahui bahwa pohon itu juga ber­jalan menuju suatu tujuan tertentu sejak hari pertama kejadiannya. Dan untuk mencapai tujuan itu ia dibekali alat-alat tertentu yang sesuai dengan proses penyempurnaan, kekuatan dan besarnya. Dalam perjalanannya ia tidak menempuh perjalanan yang ditem­puh olch gandum, sebagaimana gandum - dalam tingkat-tingkat penyempurnaannya - tidak berproses sebagaimana prosesnya pohon kenari. Masing-masing dari kedua tanaman itu mempunyai perkembangannya sendiri yang tidak akan dilanggarnya untuk selama-lamanya.
Semua yang kita saksikan di dalam alam ini mengikuti kaidah yang berlaku ini, dan tidak ada bukti pasti bahwa manusia me­nyimpang dari kaidah itu dalam perjalanan alamiahnya menuju tujuan yang ia telah dibekali alat-alat tertentu untuk mencapainya. Bahkan bekal-bekal yang diberikan kepadanya itu merupakan bukti terkuat bahwa dia adalah seperti yang lainnya di alam ini. Dia memiliki tujuan tertentu yang menjamin kebahagiaannya, dan dia telah dilengkapi dengan sarana-sarana untuk mencapainya.
Jadi, fitrah manusia - bahkan fitrah alam yang manusia hanyalah merupakan sebagian darinya - menuntunnya ke arah kebahagiaan hakiki. Fitrah itu mengilhami hukum-hukum terpenting, terbaik dan terkuat yang menjamin kebahagiaannya. Allah ber­firman:


"Musa berkata: 'Tuhan kami ialah Zat yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberi­nya petunjuk'." (QS 20:50)


"Yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan)­Nya. Yang memberikan ketentuan dan petunjuk." (QS 87:2-3)


"Demi jiwa dan Penyempurnanya. Kemudian Allah mem­beritahukan kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya." (QS 91:7-10)


 "Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tetapilah fitrah Allah yang la telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. ltulah agama yang lurus. " (QS 30:30)


"Sesungguhnya agama yang diterima Allah adalah lslam. (QS 3:19)


"Barangsiapa rnencari agarna selain lslarn, maka tidak akan di­terima. " (QS 3:85)

Kesimpulan dati ayat-ayat ini dan ayat-ayat lain yang ber­kandungan sama, yang tidak kami sebutkan secara ringkas, adalah bahwa Allah menuntun setiap makhluk-Nya - termasuk manu­sia - kepada tujuan dan kebahagiaan puncak yanq merupakan tujuan diciptakannya mereka. Dan jalan yang benar bagi manusia ialah jalan fitrahnya. Maka dalarn perbuatan-perbuatannya manu­sia harus terikat dengan hukum-hukum individu dan sosial yang bersumber dari fitrahnya, dan tidak boleh secara membuta meng­ikuti hawa nafsu, emosi, kecenderungan dan keinginannya. Konsekuensi dari agama fitrah (alamiah) adalah manusia tidak boleh menyia-nyiakan bekal-bekal yang diberikan kepadanya. Bahkan setiap bekal harus dimanfaatkan dalam batas-batasnya dan secara benar, agar potensi-potensi yang ada dalam dirinya seimbang, dan agar satu potensi tidak mematikan potensi yang lain.
Selanjutnya manusia harus dikuasai oleh akal sehat yang jauh dari kesalahan, bukan oleh tuntutan-tuntutan diri yang bersumber dari emosi yang menyalahi akal. Beqitu pula, yang menguasai masyarakat haruslah kebenaran dan yang benar-benar bermanfaat baginya, bukan orang kuat yang sewenang-wenang dan mengikuti hawa nafsu dan keinginan-keinginannya. Bukan pula mayoritas yang menyimpang dari kebenaran dan kemaslahatan umum.
Pembahasan di atas juga menunjukkan hahwa yang berhak membuat dan memberlakukan hukum hanyalah Allah saja, dan tak seorang pun berhak membuat dan memberlakukan hukum dan memutuskan segala perkara, karena pembahasan di atas menun­jukkan bahwa jalan hidup dan hukum yang bermanfaat bagi manu­sia dalam kehidupannya adalah yang diilhami fitrahnya. Yakni hukum dan jalan hidup yang dituntut oleh sebab-sebab dan faktor-­faktor batiniah dan lahiriah dalam fitrahnya. Hal ini berarti sesuai dengan kehendak Allah. Pengertian "sesuai dengan kehendak Allah" adalah bahwa Allah telah menempatkan pada diri manusia sebab-sebab dan faktor-faktor yang mengakibatkan adanya perundanq-undangan dan jalan hidup.
Kadang-kadang, sebab-sebab dan faktor-faktor itu mengambil bentuk pemaksaan sebagai dasar bagi suatu proses, seperti peris­tiwa-peristiwa alam yang terjadi setiap hari. Inilah yanq dinamakan kemauan alam (iradah takwiniah), Kadanq-kadang juga sesuatu aksi dilakukan secara bebas dan berdasarkan kehendak, seperti makan, minum dan lain-lain, yang dalam hal ini kehendak diatur oleh hukum Allah (iradah tasyri'iah). Allah berfirman:


"Tidak ada hukum selain milik Allah." (QS 12:40 dan 67)



 
 1).  Kata sabilillah (jalan Allah), dalam kebiasaan Al-Quran, berarti agama Allah. Ayat itu juga menunjukkan bahwa orang~orang kafir - termasuk di dalamnya orang-orang yang mengingkari adanya Tuhan - pun memiliki agama, yaitu jalan hidup mereka.

Mengungkap Rahasia Al-Quran

 


 
Mengungkap Rahasia Al-Quran


SANG ALIM DARI TABRIZ
Oleh Sayyid Husain Nasr

Selama musim panas 1963, ketika Profesor Kenneth Morgan1) berada di Teheran, kami mengunjungi Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba'i di Darakah, sebuah desa kecil di sisi pe­gunungan dekat Teheran, tempat alim yang mulia ini menghabis­kan bulan-bulan musim panas, menyingkir dari panas kota Qum, kediamannya. Pertemuan itu dicengkam dengan kehadiran seorang laki-laki yang rendah hati yang telah membaktikan segenap hidup­nya untuk mengkaji agama. Di dalam dirinya, kerendahhatian dan kemampuan analisis intelektual bergabung ..... Dalam kelompok ulama tradisional,2) Allamah Thabathaba'i memiliki kelebihan sebagai seorang Syaikh dalam bidang Syariat dan ilmu-ilmu esoteris, sekaligus seorang hakim (filosof atau, tepatnya, teosof Islam tradisional) terkemuka.
Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba'i dilahirkan di Tabriz pada tahun 1321 Hijriah atau 1903 Masehi, di suatu keluarga keturunan Nabi Muhammad - yang selama empatbelas generasi telah menghasilkan ulama-ulama Islam terkemuka. Ia memperoleh pendidikan dirinya di kota kediamannya, menguasai unsur-unsur bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama, dan pada umur duapuluh tahun berangkat ke Universitas Najaf untuk melanjutkan pelajaran-pelajarannya. Sebagian besar murid di madrasah-madrasah itu mengikuti cabang ilmu-ilmu naqliah, khususnya ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Syariat, yurisprudensi (fiqh) dan prinsip-prinsip yurisprudensi (ushul al-fiqh). Meskipun demikian, Allamah T'habathaba'i berusaha menguasai kedua cabang ilmu tradisional itu sekaligus: naqliah dan aqliah (intelektual). Dia mempelajari Syariat dan ushul al-fiqh dari dua di antara syaikh-syaikh terkemuka masa itu - Mirza Muhammad Husain Na'ini dan Syaikh Muhammad Husain Isfahani. Dia sendiri kemudian menjadi seorang syaikh di bidang itu yang, jika saja ia memusatkan perhatian sepenuhnya di bidang ini, sudah akan menjadi salah seorang mujtahid ataupun ulama Syariat terkemuka, dan sudah akan memberikan banyak pengaruh politis dan sosial.
Tetapi itu bukan tujuannya. Dia lebih tertarik pada ilmu-ilmu aqliah, dan mempelajari dengan tekun seluruh daur matematika tradisional dari Sayyid Abul Qasim Khwansari, dan filsafat Islam tradisional, termasuk naskah baku asy-Syifa karya Ibnu Sina dan al-Asfar karya Sadr al-Din Syirazi serta Tamhid al-Qawa'id karya Ibnu Turkah dari Sayyid Husain Badkuba'i - murid dua orang syaikh terkemuka aliran Teheran, yakni Sayyid Abul Hasan Jilwah dan Aqa' Ali Mudarris Zunuzi.
Sebagai tambahan terhadap pelajaran formal, atau yang oleh sumber-sumber Muslim tradisional disebut sebagai 'ilm hushuli (ilmu yang dicapai lewat upaya belajar secara konvensional), Allamah Thabathaba'i juga mempelajari 'ilm hudhuri (ilmu-ilmu yang diperoleh secara langsung dari Allah SWT), atau ma'rifat, yang melaluinya pengetahuan menjelma menjadi penampakan hakikat-hakikat supranatural. Dia beruntung bisa menemukan seorang Syaikh besar dalam bidang ma'rifat, Mirza Ali Qadhi, yang mulai membimbingnya ke arah rahasia-rahasia Ilahi dan menuntunnya dalam pelancongannya menuju kesempurnaan spiritual. Allamah Thabathaba'i pernah berkata kepada saya bahwa sebelum bertemu dengan Qadhi, ia telah mempelajari Fushush al-Hikam karya Ibn Arabi3) dan mengira telah benar-benar me­mahaminya. Namun ketika bertemu dengan Syaikh besar ini, ia baru sadar bahwa sebenamya ia belum tahu apa-apa. Ia juga me­ngisahkan kepada saya bahwa ketika Mirza Qadhi mulai mengajar­kan Fushush, seakan-akan dinding-dinding ruangan berbicara tentang hakikat ma'rifat dan ikut menguraikannya. Berkat Sang Syaikh, tahun-tahunnya di Najaf tak hanya menjadi suatu kurun pencapaian intelektual, melainkan juga kezuhudan dan praktek-praktek spiritual yang memampukannya untuk mencapai keadaan realisasi spiritual - yang sering disebut sebagai menjadi terceraikan dari kegelapan batasan-batasan material (tajrid). Ia menghabiskan hari-harinya dengan puasa, salat dan menjalani puasa-bicara total selama suatu jangka waktu tertentu. Kini, kehadirannya selalu membawa bersamanya kekhidmatan perenungan dan konsentrasi sempurna, sekalipun dalam keadaan ia berbicara.

Allamah Muhammad Husain Thabathaba'i

Allamah Thabathaba'i kembali ke Tabriz pada tahun 1934 dan menghabiskan beberapa tahun yang sunyi di kota itu, mengajar sejumlah kecil murid. Namun ia tetap saja belum dikenal oleh lingkaran keagamaan Persia pada umumnya. Kejadian-kejadian mengerikan Perang Dunia Kedua dan pendudukan Rusia atas Persialah yang membawa Allamah Thabathaba'i dari Tabriz ke Qum (1945). Pada waktu itu, dan seterusnya sampai sekarang, Qum merupakan pusat pengkajian keagamaan di Persia. Dalam sikapnya yang pendiam dan sederhana, Allamah Thabathaba'i mulai mengajar di kota suci ini, memusatkan diri pada tafsir-Quran serta filsafat dan teosofi tradisional, yang selama bertahun-tahun sebelumnya tidak diajarkan di Qum. Kepribadiannya yang penuh daya tarik dan kehadiran spiritualnya segera saja menarik sebagian besar murid yang paling inteligen dan kompeten, dan secara ber­tahap ia menjadikan ajaran-ajaran Mulla Sadra sekali lagi sebagai pokok kurikulum tradisional. Saya masih ingat dengan jelas beberapa kesempatan kuliah umumnya di salah satu masjid-madrasah di Qum, tempat hampir empat ratus murid bersimpuh di kakinya untuk menangguk hikmahnya.
Kegiatan-kegiatan Allamah Thabathaba’i sejak kedatangannya di Qum juga meliputi banyak kunjungan ke Teheran. Setelah Perang Dunia Kedua, ketika Marxisme sedang jadi mode di kalangan sementara pemuda di Qum, dialah satu-satunya ulama yang bersusah payah mempelajari dasar filosofis komunisme dan memberi tanggapan terhadap materialisme dialektika dari sudut pandang tradisional. Hasil usahanya inilah yang kemudian dibukukan dengan judul Ushul-i Falsafah wa Rawisyy-i Ri'alism (Prinsip­Prinsip Falsafah dan Metode Realisme). Di dalamnya ia membela realisme - dalam arti tradisional abad pertengahannya - dalam pertentangannya dengan filsafat-filsafat dialektis. Dia juga me­ngajar sejumlah murid yang termasuk dalam kelompok masyarakat Persia yang berpendidikan modern.4)
Sejak kedatangannya di Qum, Allamah Thabathaba'i dengan tak kenal lelah terus berupaya untuk menyampaikan hikmah dan pesan intelektual Islam kepada tiga kelompok murid: kepada sejumlah besar murid-murid tradisional di Qum yang sekarang tersebar di seantero Persia dan sampai ke daerah-daerah lain; kepada sekelompok murid terpilih yang diajamya ma'rifat dan tasawuf dalam suatu lingkaran yang lebih akrab, dan yang biasa bertemu pada hari Kamis malam di rumahnya atau di rumah-rumah privat lainnya; dan juga. kepada sekelompok orang Persia yang mem­punyai latar belakang pendidikan modern dan kadang-kadang juga orang-orang non-Persia yang dittemuinya di Teheran. Selama sepuluh tahun terakhir diadakan suatu rangkaian pertemuan secara teratur yang dihadiri oleh sekelompok orang Persia terpilih termasuk, pada musim-musim gugur, Henry Corbin.5) Dalam pertemuan-pertemuan itu masalah-masalah spiritual dan intelektual yang paling besar dan mendesak diperbincangkan, yang di dalamnya saya biasa bertindak sebagai penerjemah. Selama tahun-tahun itu kami telah mempelajari dari Allamah Thabathaba'i tidak hanya naskah-naskah klasik tentang Hikmah Ilahi dan ma'rifat, melainkan juga seluruh daur yang bisa disebut sebagai ma'rifat komparatif. Di dalamnya naskah-naskah suci agama-agama besar, yang mengandung ajaran-ajaran tasawuf dan ma'rifat, seperti Tao Te Ching, Upanisyad dan Injil Johannes, diperbincangkan dan di­bandingkan dengan tasawuf dan doktrin-doktrin ma'rifat Islam pada umumnya.
Dengan demikian Allamah Thabathaba'i telah memberikan pengaruh yang amat besar, baik di dalam daur tradisional maupun modern, di Persia. Dia telah mencoba untuk menciptakan suatu elite intelektual baru di kalangan kelompok masyarakat berpendidikan modern yang ingin menjadi akrab dengan intelektualitas Islam di samping dengan dunia modem. Banyak murid tradisionalnya yang termasuk dalam kelompok ulama telah mencoba untuk mengikuti teladannya dalam upaya yang amat penting ini. Beberapa muridnya, seperti Sayyid Jalal al-Din Asytiyani dari Universitas Masyhad dan Murtadha Mutahhari dari Universitas Teheran, juga dikenal sebagai sarjana yang mempunyai reputasi istimewa. Allamah Thabathaba'i juga sering berbicara tentang beberapa muridnya yang lain yang memiliki kualitas-kualitas spiritual tinggi tetapi tidak mau menampilkan diri mereka.
Sebagai tambahan bagi suatu program yang amat berat dalam mengajar dan memberikan bimbingan, Allamah Thabathaba'i juga menyibukkan dirinya dengan kerja menulis banyak buku dan artikel yang membuktikan kekuatan intelektual dan keluasan ilmu­nya yang luar biasa di dalam dunia ilmu-ilmu Islam tradisional. Sekarang, di tempat tinggalnya di Qum, sang alim membakti­kan hampir seluruh waktunya untuk menyelesaikan Kitab Tafsir Quran yang ditulisnya6) dan memberikan pengarahan kepada murid-muridnya yang terbaik. Dia bertindak sebagai suatu larnbang dari sesuatu yang paling permanen di sepanjang tradisi kesarjanaan dan ilmu-ilmu tradisional Islam. Kehadirannya meniupkan suatu aroma yang hanya bisa datang dari seseorang yang telah mengecap buah Pengetahuan Ketuhanan. Ia mencontohkan, dalam kepribadiannya, kemuliaan, kerendahhatian dan kecinta­annya kepada kebenaran - yang selama berabad-abad telah menjadi ciri ulama-ulama Muslim terbaik. Ilmunya dan ungkapan­ungkapannya merupakan saksi bagi ilmu Islam sejati - yakni betapa luar biasa, metafisis dan berbedanya dari sedemikian banyak uraian dangkal kaum orientalis atau karikatur yang penuh distorsi dari banyak modernis Muslim. Memang ia tak memiliki kesadaran tentang mentalitas dan sifat dunia modern yang mungkin diperlukan, tetapi hal semacam itu memang tak seharus­nya diharapkan dari seseorang yang pengalaman hidupnya terbatas pada daur lingkaran Persia dan Irak.



1). Seorang orientalis terkemuka, yang di Indonesia dikenal lewat bukunya yang berjudul Islam, the Straight Path (terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia telah diterbitkan oleh Pustaka Jaya dengan judul lslam Jalan Lurus) - penyunting.
2). Istilah "tradisional" di sepanjang artikel ini mesti tidak diartikan dalam konotasinya yang negatif, rnelainkan sebagai sifat disiplin di bidang ilmu-ilmu agama Islam yang memberikan penekanan pada kombinasi fiqh dan tafsir Al-Quran dengan filsafat, teosofi dan tasawuf - penyunting.
3). Fushush al-Hikam adaiah karya masrerpiece Ibn Arabi yang disebutsebut sebagai Syaikh terbesar dalam bidang tasawuf. buku ini karena keluarbiasaannya, telah diterjemahkan ke berhagai bahasa, antara lain, Inggris, Prancis dan sebagainya - penyunting.
4). Sayyid Husain Nasr sendiri adalah salah seorang murid Allamah Thabathabati. Di bagian lain artikelnya ini ia menulis: "Saya sendiri pernah berguru padanya selama bertahun-tahun dalam bidang filsafat tradisional dan teosofi." - penyunting.
5). Seorang orientalis Prancis terkemuka yang dikenal banyak menulis buku tentang aspek metafisis (tasawuf dan filsafat) Islam, terutama berkenaan dengan Syi'ah. Dia menulis sebuah buku tentang tasawuf ibn Arabi dan, bersama Sayyid Husain Nasr, menulis buku tentang filsafat Islam - penyunting.
6).   Sebuah Tafsir Quran yang berpengaruh dengan nama al-Mizan, terdiri atas 21 jilid, masing-masing mencapai ratusan halaman, dikenal sebagai Tafsir Al-Quran dengan Al-Quran - penyunting.
 


2
2


 
   
 
- konversi html & chm oleh pakdenono, juni 2007 -
 www.pakdenono.com